Itu pertanyaan yang sering diajukan oleh banyak kalangan, karena 'membingungkannya' status pasien, apakah pasien itu konsumen dari dokter atau mitra & orang yang perlu ditolong oleh dokter? Sebagian kalangan, terutama dari kelompok perlindungan konsumen, menganggap pasien adalah konsumen dari jasa dokter, hubungan dokter-pasien harus tunduk pada UU no.8/1999 tentang perlindungan konsumen. Logika yang mereka pakai adalah berbagai macam konvensi internasional tentang konsumen yang memasukkan pasien sebagai konsumen. Tetapi, UU no.8/1999 tidak dengan jelas mengatur hal ini.
Jika lebih jauh mengamati UU no.8/1999, akan muncul pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Apakah praktik dokter itu kegiatan usaha di bidang ekonomi?
- Apakah dokter berpromosi?
- Apakah penyediaan praktik dokter menggunakan klausula baku?
- Apakah jika ada perselisihan antara dokter-pasien bisa diselesaikan di BPSK? Dst.
Sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat beberapa ahli hukum kesehatan menganggap bahwa dokter bukanlah 'pelaku usaha' seperti menurut UU no.8/1999, sehingga mereka pun memunculkan pertanyaan-pertanya an baru untuk kelompok yang menganggap dokter adalah 'pelaku usaha':
- Sesuai UU no.8/1999, pelaku usaha berhak menerima pembayaran dari konsumen. Jika tidak membayar atau pembayarannya kurang dari yang dijanjikan, apakah pelaku usaha (dokter) berhak menolak untuk melayani konsumen (pasien)?
- Pada konsumen (pasien) yang tidak membayar dengan alasan apapun, apakah mereka otomatis kehilangan hak-haknya sebagai konsumen sesuai UU?
- Jika konsumen (pasien) diwajibkan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, bagaimana dengan konsumen (pasien) yang menolak pengobatan atau resep yang diberikan dokter?
Jika konsumen (pasien) tidak memenuhi kewajibannya membayar kepada pelaku usaha (dokter), apakah pelaku usaha boleh melaporkan konsumen ke BPSK, polisi, menggugat ke pengadilan, atau bahkan menyewa 'debt collector' seperti yang banyak dilakukan oleh pelaku usaha bidang lain?
- Dokter sebagai pelaku usaha boleh beriklan? Secara hukum, UU (yang memperbolehkan pelaku usaha beriklan) lebih tinggi dari etika profesi dokter (yang melarang dokter beriklan) yang tidak ada di hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dst.
Kebingungan seperti ini akan terus terjadi & masing-masing pihak, apakah dokter ataupun pasien, selalu akan menggunakan peraturan perundangan apapun yang lebih menguntungkan kelompoknya. Sehingga, perlu dipikirkan pemerintah untuk mengatur secara khusus mengenai hubungan dokter-pasien dengan lebih formal.
Namun, apapun yang terjadi, apakah pasien tergolong konsumen atau bukan & sebaliknya apakah dokter itu termasuk pelaku usaha atau bukan, sudah seharusnyalah dokter melayani pasien dengan profesionalisme, kejujuran, & kesungguhan hati. Dari sisi pasien pun diharapkan untuk dapat bekerja sama dengan dokter & menghargai usaha yang dilakukan dokter di dalam pengobatan terhadap pasien.
Jika lebih jauh mengamati UU no.8/1999, akan muncul pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Apakah praktik dokter itu kegiatan usaha di bidang ekonomi?
- Apakah dokter berpromosi?
- Apakah penyediaan praktik dokter menggunakan klausula baku?
- Apakah jika ada perselisihan antara dokter-pasien bisa diselesaikan di BPSK? Dst.
Sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat beberapa ahli hukum kesehatan menganggap bahwa dokter bukanlah 'pelaku usaha' seperti menurut UU no.8/1999, sehingga mereka pun memunculkan pertanyaan-pertanya an baru untuk kelompok yang menganggap dokter adalah 'pelaku usaha':
- Sesuai UU no.8/1999, pelaku usaha berhak menerima pembayaran dari konsumen. Jika tidak membayar atau pembayarannya kurang dari yang dijanjikan, apakah pelaku usaha (dokter) berhak menolak untuk melayani konsumen (pasien)?
- Pada konsumen (pasien) yang tidak membayar dengan alasan apapun, apakah mereka otomatis kehilangan hak-haknya sebagai konsumen sesuai UU?
- Jika konsumen (pasien) diwajibkan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, bagaimana dengan konsumen (pasien) yang menolak pengobatan atau resep yang diberikan dokter?
Jika konsumen (pasien) tidak memenuhi kewajibannya membayar kepada pelaku usaha (dokter), apakah pelaku usaha boleh melaporkan konsumen ke BPSK, polisi, menggugat ke pengadilan, atau bahkan menyewa 'debt collector' seperti yang banyak dilakukan oleh pelaku usaha bidang lain?
- Dokter sebagai pelaku usaha boleh beriklan? Secara hukum, UU (yang memperbolehkan pelaku usaha beriklan) lebih tinggi dari etika profesi dokter (yang melarang dokter beriklan) yang tidak ada di hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dst.
Kebingungan seperti ini akan terus terjadi & masing-masing pihak, apakah dokter ataupun pasien, selalu akan menggunakan peraturan perundangan apapun yang lebih menguntungkan kelompoknya. Sehingga, perlu dipikirkan pemerintah untuk mengatur secara khusus mengenai hubungan dokter-pasien dengan lebih formal.
Namun, apapun yang terjadi, apakah pasien tergolong konsumen atau bukan & sebaliknya apakah dokter itu termasuk pelaku usaha atau bukan, sudah seharusnyalah dokter melayani pasien dengan profesionalisme, kejujuran, & kesungguhan hati. Dari sisi pasien pun diharapkan untuk dapat bekerja sama dengan dokter & menghargai usaha yang dilakukan dokter di dalam pengobatan terhadap pasien.
Komentar